Ada yang unik dari kisah hidup Elisa Lumbantoruan. Pilihan-pilihan hidupnya cepat berubah, spontan bahkan sedikit liar. Tetapi untungnya pilihan itu jarang meleset. Kepiawaiannya itu bukanlah berkah dari langit yang turun begitu saja, unsur kejelian dan kepekaannya melihat perubahan menjadi kuncinya.
Di samping itu, karakter Elisa yang sadar resiko, membuatnya konsekuen dengan sebuah pilihan. “Bukan spontan tanpa pertimbangan, tetapi bagi saya lebih kepada kemampuan beradaptasi yang tinggi,” tutur dia.
Sadar berasal dari keluarga pas-pasan, Elisa muda menggantungkan cita-cita yang tidak muluk ketika di bangku SMP. Kala itu dia cuma ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang STM. ”Di kampung, yang bisa servis elektronik masih langka. Kalau saya bisa, lumayan untuk cari nafkah,” ujar dia.
Namun keinginan masuk STM tiba-tiba sirna ketika dia harus hijrah ke Bogor bersama sang nenek yang membutuh perawatan karena sakit. Di kota hujan itu, Elisa malah memilih masuk SMA. Setelah lulus, kendati tiket masuk STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) sudah didepan mata, dia malah bersikeras ingin masuk ITB. Para kerabatnya pun sempat berang melihat keemohan Elisa memilih STAN. “Padahal STAN sudah diterima, sedangkan hasil ujian masuk ITB belum diumumkan,” ungkap dia.
Untunglah keyakinan Elisa tidak meleset. Tahun 1978 (baca 1979, el), dia masuk ITB. Awalnya, dia mengincar Fakultas Teknik, khususnya sipil. Alasannya sederhana, karena pembangunan sedang pesat saat itu dan otomatis peluang kerja menganga lebar. Namun ketika hari pendaftaran ulang, nalar jeli Elisa kembali bekerja. Dia tidak sreg melihat bejibunnya calon mahasiswa yang mendaftar di Fakultas Teknik. Dia pun putar haluan. “Saya pilih yang paling sedikit diincar mereka, Fakultas MIPA. Padahal ganti jurusan itu ketika saya di meja pendaftaran terakhir alias last minute,” kata sambil dia tertawa.
Pada Fakultas MIPA pria berbintang Cancer inipun mengambil pendalaman di jurusan Matematika. Pilihan tersebut ternyata tak lepas dari dominasi materi teknik sipil yang masih diidam-idamkannya. Namun ditengah jalan, langkah Elisa kembali melenceng. Nalurinya berkata kalau jaman telah bergerak ke arah industri dan komputerisasi.
Berangkat dari penafsiran itu, dia memutuskan untuk mendalami mata kuliah elektro dan teknik industri. Sayang, konsistensinya hanya bertahan sampai tahun ketiga. Selanjutnya, dia pindah ke matematika sebagai jurusan pendalaman. Ternyata pilihan ini dipicu kekesalan pada materi elektro yang dianggapnya sudah ketinggalan jaman. “Ketika itu kami masih berkutat di transistor dan tabung, padahal tv sudah pakai chip atau IC. Saya merasa elektro mempelajari pemikiran masa lalu sedangkan kita hidup untuk masa depan. Sedangkan Matematika, membentuk saya berpikir terstruktur dan mampu mencari solusi secara simple,” kata pria penyuka golf dan renang ini.
Kekesalan itu membuat dia kembali mendalami matematika yang dinilainya mengajarkan cara berpikir terstruktur dan mampu mencari solusi secara simple.
Hidup Mandiri
Sisi lain yang membentuk karakter Elisa adalah latar belakang hidup yang susah. Kedua orang tuanya hanya berprofesi sebagai guru. Sedangkan harus bertanggungjawab menafkahi Elisa bersama sebelas saudara kandungnya. Maka tak pelak, sejak muda, Elisa harus bekerja keras untuk bertahan hidup.
Di usia 15 tahun, untuk mengurangi beban orang tua, pemuda Batak dari tanah Siborong-borong, Tapanuli Utara ini memutuskan tinggal di asrama dan hidup mandiri. Untunglah pria ini tak hanya punya tekad kuat, namun juga otak yang encer. Maka sejak tingkat dua kuliah di tahun 1983 (baca 1981, el), Elisa lebih banyak menghabiskan waktunya sebagai pengajar di beberapa sekolah, bimbingan belajar sampai perguruan tinggi di Bandung dan Jakarta. Pendapatan dari mengajar tersebut, dia suplai untuk biaya sekolah adik-adiknya. “Honor saya bisa sampai Rp 1 juta, tapi jadwal mengajar 4 hari dalam seminggu, mulai jam 7 pagi sampai 10 malam,” ujar pria yang belajar bahasa Inggris secara otodidak ini. Akibat masa kuliah Elisa pun melorot sampai enam tahun.
Keberanian mengambil keputusan dalam hidup ditularkan dalam mendidik dua buah hatinya. “Saya selalu mendorong anak-anak agar berani mengambil keputusan, tetapi harus punya alasan atas pilihannya itu,” tambah dia. (dip)
Sumber : Koran Investor Daily : http://www.investorindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=33197
Quote:
“…Kepiawaiannya itu bukanlah berkah dari langit yang turun begitu saja, unsur kejelian dan kepekaannya melihat perubahan menjadi kuncinya.”
Betul, kepiawaian itu tidak datang dari langit begitu saja, tapi kemampuan untuk jeli dan peka adalah anugerah dari langit (Tuhan).
Betul, kita harus percaya ada arsitektur ataupun sutradara dari kehidupan kita ini, itu maksud saya di artikel lain “Be thankful” to Him.
Beliau memilih Fak yang paling sepi pada “last minute”. Kejelian untuk memperbesar peluang “to be the best in his community”. Banyak yang menganggap dirinya hebat sehingga ingin membuktikan “to be the best among the best in the best community”, tetapi seringkali gagal. Karena sesungguhnya manusia punya keterbatasan di banyak hal, tetapi punya keistimewaan di satu bidang. Dari awal memang Lae Ama Josephine ini sudah hebat dalam “positioning”. Hebat!!! Salut sekali