Tidak ada istilah yang lebih baik dalam menggambarkan situasi dan perkembangan ekonomi dunia dewasa ini yang bagaikan guncangan tektonik, perubahan yang revolusioner, paradigma baru, ataupun transformasi yang bak badai tsunami. Karakterisasi yang cenderung ekstrim bukan disebabkan oleh karena dunia sedang tergila-gila dengan hiperbolisme. Pemilihan bahasa ini mengalir begitu saja dari berbagai upaya yang dilakukan oleh beberapa kalangan seperti para pemimpin dunia usaha, akademis maupun jurnalis untuk memberikan gambaran yang paling tepat bagi kondisi ekonomi saat ini. Adanya kecenderungan bahwa dunia saat ini akan menuju ke arah yang tanpa batas menjadi katalisator utama situasi ekonomi yang tidak pernah pasti.
Secara keseluruhan, struktur ekonomi itu sendiri turut berubah. Sektor industri baru bermunculan sebagai akibat dari penggabungan berbagai disiplin dalam komputasi (komputer, piranti lunak, jasa), komunikasi (telefoni, kabel, satelit, jaringan nirkabel), dan content (hiburan, penerbitan, penyedia informasi). Dengan demikian perilaku yang tercermin pada era ekonomi baru ini pun akan turut berubah total. Tanpa melalui jenjang-jenjang yang sangat berarti, dunia telah memasuki era dimana pergerakan ekonomi tidak lagi berdasarkan pada pertukaran secara fisik, tetapi berbasis pada ilmu pengetahuan. Ciri ekonomi di era Networked Intelligence ini disebut sebagai ekonomi digital (digital economy).
EKONOMI DIGITAL
Sebagaimana disebutkan pada paragraf sebelumnya, pada era ekonomi sebelumnya arus informasi mengalir secara fisik: tunai, cek, surat tagihan, laporan, rapat, panggilan telpon secara analog, transmisi radio atau televisi, cetak biru, peta, foto-foto ataupun iklan-iklan selebaran. Di era ekonomi aliran baru, berbagai bentuk informasi berubah menjadi digital – informasi disimpan dalam bentuk data bit. Melalui penggunaan kode binari pada komputer, komunikasi dan informasi pun menjadi digital ones dan zeros. Dengan demikian sebuah dunia baru dengan segala kemungkinannya telah tercipta dengan sedemikian nyata seperti halnya terciptanya bahasa, sebagai paradigma masa lalu yang mendasarkan pertemuan fisik untuk berinteraksi.
PASAR GLOBAL
Informasi, di era ekonomi digital, menjadi bahan baku yang diolah dan disintesa menjadi sebuah produk yang berbasiskan pengetahuan dan didistribusikan melalui jaringan elektronik global. Tujuan utama dari bisnis itu sendiri, yaitu menciptakan kesejahteraan, akan dapat tercapai baik secara fisik maupun di marketspace (pasar di awang-awang) yang baru tercipta ini. Definisi dari marketspace baru ini adalah dunia serba elektronik dimana penjual dan pembeli bertemu dan mengadakan kegiatan perdagangan tanpa adanya interaksi secara fisik sebagaimana yang dilakukan di aktifitas perdagangan tradisional sebelumnya. Menggunakan kerangka kerja Prof. Rayport dari Sekolah Bisnis Harvard, belanja di awang-awang memang beda dengan belanja tradisional. Isi (content) penjualan tidak perlu buku secara fisik, misalnya, tapi cukup informasi tentang buku. Konteks-nya tidak perlu toko buku secara fisik, tapi sebuah agen penjualan yang rajin memelihara database-nya. Dan infrastruktur yang merupakan enabler dari berlangsungnya transaksi bukan lagi orang, tapi perusahan telekomunikasi yang menjadi saluran informasi. Keberadaan marketspace ini yang nantinya akan menimbulkan adanya konvergensi dari value chain (mata rantai sebuah nilai).
Saat teknologi telekomunikasi akan saling bergandeng tangan dengan komputer dan sisi komersial dari Internet akan melambung, pertambahan kecepatan dari perubahan akan menjadi sangat radikal. Konvergensi dari teknologi ini, bersama dengan proses digitalisasinya dan kemampuan untuk mengakses ke hampir semua content, membuat perusahaan tidak hanya mampu memberikan produk dan layanan yang ada dalam bentuk baru, namun juga mampu menciptakan produk dan jasa baru berdasarkan pada apa yang telah diketahui. Pesatnya pertumbuhan World Wide Web dan Internet membuat infrastruktur yang ada saat ini dapat dipergunakan untuk memberikan produk dan jasa yang dibuat berdasarkan pengetahuan kepada pasar global yang lebih luas lagi.
Beberapa perusahaan lain juga telah menyadari pentingnya penggunaan Internet secara maksimal untuk menciptakan langkah-langkah inovatif dalam pelayanan pelanggannya. Saat ini, pelanggan menginginkan informasi, kemudahan, dan layanan individualis. Dunia usaha harus mampu memuaskan keinginan pelanggan ini sementara di lain pihak secara simultan mampu menurunkan biaya dan mempersingkat time-to-market. Sebuah perusahaan ekspedisi terkemuka di dunia telah menerapkan teknologi ini dimana pelanggan dapat melacak lokasi barang mereka melalui situs Web. Dengan demikian perusahaan ini telah menciptakan kantor-kantor cabang “semu” (virtual) di seluruh penjuru dunia, yang setara dengan ribuan meja kerja, tanpa harus mengeluarkan biaya untuk pendistribusian perangkat lunak.
TRANSFORMASI
Di era ekonomi digital, tantangan tidak hanya datang dari pesaing kita saja – melainkan dari segala penjuru. Kita sadari bahwa saat arus informasi beralih kepada digital dan networked, tidak ada lagi dinding-dinding yang akan membatasi ruang gerak kita dan sebagai dampak yang lebih luas lagi adalah tidak ada satupun bisnis yang aman. Seperti pada kasus Microsoft yang ingin mengakuisisi Intuit, sebuah perusahaan kecil pembuat perangkat lunak untuk industri keuangan. Penawaran tersebut terpaksa ditarik kembali oleh Microsoft karena adanya keberatan dari Departemen Kehakiman, yang distimulir oleh kekhawatiran yang timbul dari kalangan perbankan dan keuangan bahwa suatu saat Microsoft sendiri akan menjadi sebuah lembaga perbankan!. Pelanggan akan dapat membayar tagihan-tagihannya secara elektronik melalui sistem dan perangkat lunak yang dikembangkan Microsoft, dan itu berarti pendapatan seketika yang melimpah ruah. Dengan demikian Microsoft dapat mengklaim haknya untuk mendapatkan persentase keuntungan dari lembaga kliring bank. Dan kekhawatiran lain pun muncul bahwa lambat laun identitas lembaga-lembaga perbankan ini akan pupus sebagai akibat makin berkurangnya interaksi dengan pelanggan yang lebih suka menggunakan produk Microsoft untuk menyelesaikan urusan bank mereka. Piranti yang diciptakan Microsoft ini juga akan memutuskan peranan lembaga keuangan dan investasi sebagai intermediator, karena dengan kecanggihannya orang akan dapat menelusuri pasar modal melalui komputer pribadinya dan mengeksekusi keputusannya sendiri. Terence P. Paré dari majalah Fortune berpendapat bahwa “dengan demikian, Microsoft akan menjadi sebuah bank ritel nasional”. Bank-bank sendiri hanya akan menjadi sebuah pemasok komoditas yang bersaing dalam memberikan harga yang terbaik. Meskipun Microsoft menarik kembali rencana pembelian Intuit, tapi bukan berarti bahwa Microsoft akan mundur dari percaturan dunia perbankan elektronis.
Menganggap remeh fenomena yang timbul akibat ekonomi digital terbukti dapat berakibat fatal. Encyclopedia Britannica pada mulanya tidak peduli akan adanya tren penggunaan CD-ROM sebagai pengganti buku dan bisnis mereka hampir musnah karenanya. Mereka harus mentransformasikan identitas perusahaan mereka, dari sebuah penerbit buku (secara fisik) menjadi sebuah penyedia informasi (secara virtual) dengan merekayasa ulang produk unggulan mereka. Bentuk buku referensi atau ensiklopedi berjilid-jilid yang selama ini dikenal orang telah berubah menjadi sebuah situs Web. Keseluruhan model bisnis perusahaan ini pun turut berubah dari penjualan buku dari pintu-ke-pintu menjadi ke penyediaan langganan akses untuk on-line ke dunia informasi bagi kalangan akademis, komersial maupun perseorangan.
Demi mengatasi berbagai tantangan yang menghadang dunia usaha demi mentransformasi bisnis mereka menjadi sebuah entitas digital, berbagai metodologi yang selama ini dikenal seperti Total Quality Management (TQM) dan Business Process Reengineering (BPR) menjadi tidak relevan lagi untuk diterapkan. Ketidaksesuaian ini lebih disebabkan karena metode-metode tersebut lebih berorientasi pada optimalisasi model bisnis yang ada saat ini.
Satu cara yang akan membantu memberikan pengertian lebih baik tentang transformasi bisnis adalah dengan membandingkan konsep baru ini dengan BPR. BPR telah mendominasi taktik bisnis selama enam tahun terakhir sebagai sebuah panasea bagi kesuksesan secara ekonomi dalam persaingan yang semakin intens. Dan dalam banyak kasus, konsep BPR telah membantu beberapa entitas bisnis yang tidak efisien dan ketinggalan jaman bertahan. Tetapi BPR lebih berfokus pada pemotongan biaya, maksimalisasi produksi dari sumber yang lebih sedikit, rekayasa ulang proses bisnis yang ada ataupun mengeliminasi bagian-bagian yang tidak memberikan manfaat tambahan.
Saat ini konsep BPR tersebut dianggap tidak mampu lagi mengimbangi tuntutan persaingan di dunia usaha yang menghendaki adanya strategi pendefinisian ulang seluruh tujuan dari entitas bisnis itu sendiri: apa bidang usahanya dan akan menjadi apa; apa produk dasar dan pasar yang harus ditekuni; siapa saja kompetitor yang mungkin timbul; struktur paling mendasar dan pondasi dari organisasi bisnis itu sendiri. Pengkajian total, pendefinisian ulang produk dasar dan fokus pada inovasi adalah beberapa aktifitas inti dalam memulai proses Transformasi Bisnis.
Pada saat suatu industri bergerak menuju era ekonomi digital, model bisnis individual harus turut berubah karena keseluruhan model industri pun mengalami pendefinisian ulang. Produk-produk baru akan tercipta dan kompetisi baru akan muncul dari tempat-tempat yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan akan menjadi pesaing. Seperti contoh kasus diatas, siapa yang pernah menyangka bahwa suatu saat Microsoft akan menjadi pesaing utama dari Encyclopedia Britannica? Berapa banyak pesaing baru akan muncul di Internet, dimana nilai komersial akan menjadi sama rata dan semua orang akan dapat tampil dengan kualifikasi yang sama dengan sebuah perusahaan besar yang mapan?
EKONOMI PASAR
Di masa ekonomi digital, konsumen merupakan ‘driving force’ dari semua kegiatan ekonomi yang berlangsung di dunia. Oleh karena itu komponen-komponen signifikan yang berkembang dalam ‘model industri digital’ harus sangat memperhatikan sudut pandang konsumen. Dalam kegiatan pemasaran, kustomisasi kebutuhan pelanggan menjadi pilihan utama dalam strategi bisnis.
Kecenderungan untuk melakukan kustomisasi massal ini merupakan cerminan dari pergeseran arah dalam melakukan strategi bisnis. Dalam kompetisi usaha orang juga mulai berpikir untuk mensiasati keadaan pasar yang tak pasti dengan saling memanfaatkan kelebihan dan menutup kelemahan-kelemahan yang dimiliki, demi kebaikan bersama.
Masih segar dalam ingatan kita pada tanggal 6 September 1997, semua stasiun televisi di negeri ini merelai upacara pemakaman Puteri Diana di London. Yang menarik untuk disimak, stasiun-stasiun besar dunia salng bekerja sama. CNN, misalnya, bekerja sama dengan CNBC dan BBC yang di Indonesia bekerja sama lagi dengan SCTV dan Indovision. Dan ANTeve bekerja sama dengan Reuters merelai acara yang disaksikan sekitar 2,5 miliar orang itu.
Kerja sama stasiun-stasiun televisi besar itu dilakukan dan diakses oleh televisi-televisi lokal di berbagai negara. Mereka saling mendukung pengambilan gambar acara yang diminati pemirsa dunia itu. Kendati demikian mereka masih tetap bersaing. Yang di Indonesia misalnya, Indosiar menambahnya dengan teks terjemahannya. Sedangkan SCTV tidak memakai terjemahan tapi menghadirkan banyak komentar dari pembawa acara dan tokoh-tokoh yang dihadirkan.
Contoh kasus diatas memperlihatkan bahwa lingkungan bisnis yang tak pasti telah memaksa setiap pelaku bisnis untuk mencari segala cara dan upaya untuk bertahan. Kalau memang berkompetisi sudah tak memungkinkan lagi, memang lebih baik bekerja sama. Meminjam istilah beberapa praktisi bisnis, menghadapi pesaing tidak selalu harus dengan persaingan frontal. Tetapi perlu dipertimbangkan berbagai alternatif kerja sama yang memungkinkan memperoleh manfaat dan mengurangi ketidakpastian usaha. Inilah yang kemudian disebut sebagai co-opetition. Dengan kata lain, sembari bekerja sama masih tetap bersaing.
Sebagian orang mengartikan co-opetition sebagai kerja sama dari berbagai perusahaan yang saling bersaing untuk mendapatkan manfaat bersama baik di bidang pengadaan sumber daya, penelitian, pengembangan, maupun pengaturan pasar. Cepatnya perubahan dunia, teknologi baru, dan kompetisi yang makin tajam juga mendorong makin populernya terminologi co-opetition ini.
Konsep co-opetition didasarkan pada “value-net”. Ini adalah suatu model yang menggambarkan bahwa pelaku dalam bisnis dapat berperan sebagai pelanggan, pemasok, pesaing, ataupun pelengkap. Dengan pendekatan ini bisa jadi pesaing kita berperan sebagai, misalnya, pelengkap.
Sebenarnya model pendekatan kerja sama ini bukan hal baru. Sudah lama berlangsung pendekatan ‘kartel’, dimana sekelompok pesaing bekerja sama mengatur produksi atau mengatur pasar. Misalnya, koperasi yang merupakan sekumpulan pengusaha kecil yang bekerja sama untuk meningkatkan kemampuan ekonomi mereka. Dalam koperasi yang terjadi sebenarnya adalah kerja sama antara perusahaan (anggota-anggotanya) yang berpotensi sebagai pesaing.
Namun kunci keberhasilan kerja sama dengan pesaing adalah bagaimana caranya dapat mengatasi berbagai kepentingan yang bertentangan. Lipnack dan Stamp dalam The TeamNet Factor menyarankan sejumlah faktor yang membuat co-opetition berhasil, antara lain rumusan tujuan kerja sama yang tepat, identifikasi personil-personil dari setiap perusahaan dan keterlibatan yang intens mulai dari proses perencanaan, perbanyak jumlah pemimpin yang mampu meningkatkan kerjasama dan mengurangi atasan yang hanya memerintah, ataupun kaitkan hirarki dengan para pelaksana di lapangan. Dan yang lebih penting lagi, perlunya suatu usaha khusus agar kerja sama tumbuh dengan baik. Dalam arti, kalau semula kita hanya memahami keberhasilan usaha dari segi kepentingan sendiri, maka kini harus mencari titik pandang yang sama agar kerja sama menghasilkan untuk bagi usaha sendiri maupun usaha pesaing.
Agar wawasan kerja sama berkembang dalam melakukan kerja sama dengan pesaing, kepemimpinan perusahaan harus mampu melihat alternatif win-win. Itu berarti perlu memahami bagaimana cara pandang pesaing dan bagaimana mereka mencapai tujuan yang hendak dicapainya. Disinilah dituntut adanya pendekatan wawasan yang lebih luas dari sekadar mementingkan kepentingan sendiri.
Fenomena Ekonomi Digital Yang Terjadi Di Dunia
Telah kita sadari, dan kita sepakati, bahwa Teknologi Informasi (TI) akan menjadi ‘infrastruktur’ dari infrastruktur. Dan tidak ada satu negara pun di dunia kelak yang bisa menghindari keterkaitan atau bias dari teknologi informasi. Hal ini sudah mulai kita rasakan, dan terbukti bahwa beberapa negara telah menempatkan teknologi informasi sebagai salah satu motor penggerak utama dan pemacu pembangunan. Malaysia, misalnya, yang sejak beberapa tahun yang lalu telah mempersiapkan diri untuk melakukan lompatan jauh ke depan melalui pembangunan Multimedia Super Corridor (MSC).
Dalam era perdagangan dan pembangunan ekonomi mendatang, khususnya di era globalisasi, Malaysia menganggap tak mungkin lagi bisa bertahan hanya dengan mengandalkan industri-industri manufaktur konvensional. Karenanya, jika ingin lebih unggul dan lebih maju dalam kompetisi dunia, Malaysia harus mampu mencari alternatif baru yang merupakan satu nilai unggulan utama. Hal ini dapat dilakukan melalui penciptaan suatu industri jasa yang kuat, yang tidak lagi hanya mengandalkan kepada industri-industri manufaktur bernilai-tambah rendah dan padat karya, melainkan industri-industri yang bukan saja sesuai dengan era informasi tetapi sepenuhnya menggunakan teknologi informasi yang tercanggih. Untuk itulah, pada akhirnya, pemerintah Malaysia mengambil keputusan untuk membangun apa yang sekarang ini dikenal sebagai Multimedia Super Corridor (MSC), yang pembangunannya diperkirakan akan selesai dalam kurun waktu 20 tahun. Sehingga pada tahun 2020 mendatang, Malaysia telah siap meningkatkan kapasitas industri dan perdagangannya, yang sepenuhnya didukung oleh sistem teknologi informasi dan multimedia yang mutakhir.
Disamping Malaysia dengan proyek MSC-nya, masih ada lagi perkembangan lain yang juga menarik di kawasan Asia, khususnya ASEAN, yakni Singapura dengan Singapore ONE (IT2000), sebuah proyek nasional untuk membangun sebuah jaringan broadband kapasitas tinggi. Tujuan utama dari proyek nasional pemerintah Singapura ini adalah memantapkan Singapura sebagai sebuah negara yang berpusat pada pengetahuan untuk jaringan broadband. Dengan semakin mendekatnya milenia mendatang, masterplan IT2000 ini akan mengubah bangsa Singapura menjadi sebuah Intelligent Island dimana penggunaan teknologi informasi dilakukan secara ekstensif demi meningkatkan kualitas hidup. Singapore ONE akan memainkan peranan utama dalam penerapan aplikasi-aplikasi dan layanan teknologi informasi tercanggih kepada berbagai sektor masyarakat. Kemampuan ini akan membantu Singapura untuk mempertahankan keunggulannya di era digital dan memperkuat roda perekonomian negara itu.
GLOBALISASI
Pada pertemuan tahunan APEC yang diselenggarakan pada pertengahan Nopember 1995 di Osaka, telah tercapai kesepakatan tentang prinsip-prinsip dasar untuk menjalankan kesepakatan Bogor demi mencapai liberalisasi perdagangan dan investasi antar negara-negara maju pada tahun 2010 dan antar negara-negara berkembang pada tahun 2020. Prinsip-prinsip dasar liberalisasi tersebut antara lain adalah mengenai cakupan yang menyeluruh, non diskriminasi, transparansi, fleksibilitas, memulai prosedur secara serentak dan konsisten serta substantif, dan pemantauan pelaksanaan liberalisasi antar anggota untuk dibandingkan. Walaupun hasil yang nyata belum terlihat dalam proses pelaksanaannya, upaya yang dilakukan oleh APEC ini telah mengalami perkembangan positif dalam prosesnya untuk mendorong masing-masing anggota melakukan liberalisasi secara sukarela. Liberalisasi juga terjadi karena adanya tekanan dari negara-negara anggota APEC dan menguatnya rasa percaya diri akan kemampuan melakukan liberalisasi karena dilaksanakan secara kelompok, bukan oleh masing-masing negara.
Pada bulan Januari tahun 1993, negara-negara anggota ASEAN sepakat untuk menandatangani “The Singapore Declaration” yang merupakan tekad mereka untuk memperkuat kerjasama ekonomi diantara negara-negara anggota ASEAN. Butir kesepakatan utama dari Deklarasi Singapura tersebut adalah diciptakannya kawasan bebas investasi ASEAN atau dikenal dengan ASEAN Free Trade Area (AFTA). Salah satu proses yang paling penting dalam pencapaian tujuan perdagangan bebas ini adalah menghilangkan segala hambatan yang timbul dalam pelaksanaannya, diantaranya dengan penghapusan bea yang tinggi atau pajak–pajak penjualan barang dan menghilangkan qualitative restrictions dan non-tariff barriers yang membatasi masuknya barang-barang impor.
Ekonomi global dari hari ke hari semakin berpadu dan semakin bersaing dengan bertambahnya peranan sektor teknologi informasi. Disini teknologi informasi berperan sebagai katalisator untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan dengan segala kemudahan yang mampu dilakukannya tidak tertutup kemungkinan untuk melakukan perdagangan yang lebih meluas cakupannya. Beranjak dari kesadaran itulah maka salah satu hasil dari pertemuan kementerian World Trade Organization (WTO) yang diadakan di Singapura adalah dikeluarkannya Information Technology Agreement (ITA), dimana di dalam perjanjian tersebut dinyatakan dihilangkannya bea atau pajak untuk produk-produk teknologi informasi, termasuk didalamnya semikonduktor, kapasitor, mesin fotokopi digital, kabel fiber optik, monitor, alat-alat telekomunikasi, perangkat lunak tertentu dan tabung tampilan grafis (graphic display tube). Indonesia dan Singapura adalah negara-negara yang menandatangani perjanjian tersebut. Walaupun di dalam industri teknologi informasi Indonesia masih tertinggal beberapa langkah dibandingkan Malaysia dan Thailand, tetapi Indonesia tetap menandatangani perjanjian tersebut dengan harapan melalui dihapuskannya bea atau pajak bagi produk-produk teknologi informasi hingga 0 persen akan memacu iklim kompetisi di industri ini.
Di dalam negeri, pemerintah Indonesia pun tidak tinggal diam. Terbukti dengan adanya insentif pajak (Tax Holiday) kepada investor komponen elektronika dan teknologi informasi dari Amerika Serikat yang bersiap melakukan ekspansi ke Indonesia. Insentif tersebut dimaksudkan guna mendukung rencana menjadikan bidang industri tersebut sebagai komoditas unggulan jangka menengah dan panjang.
Di Indonesia, teknologi informasi merupakan industri yang memiliki harapan dan prospek sangat baik, namun harus disadari bahwa pertumbuhannya akan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Kurangnya infrastruktur yang memadai, tenaga-tenaga yang berpotensi serta tingginya angka pengangguran merupakan beberapa faktor yang dapat menghambat laju pertumbuhan pasar teknologi informasi di Indonesia. Apabila dibandingkan dengan negeri-negeri jiran seperti Singapura dan Malaysia, industri teknologi informasi di negara kita memang masih ketinggalan. Hal ini antara lain disebabkan karena publisitas teknologi informasi sebagai suatu alat hanya terbatas pada perusahaan-perusahaan multinasional dan perusahaan besar saja. Saat ini pemerintah sedang mendorong dan menganjurkan kepada seluruh sektor industri untuk mempertimbangkan penggunaan teknologi informasi guna meningkatkan produktifitas dan efisiensi perusahaan. Selain itu, pemerintah juga berusaha untuk menarik para investor asing ke Indonesia dengan jalan memberikan kelonggaran atas kebijakan-kebijakan tertentu. Ini semua dilakukan dengan harapan masuknya investor asing ke Indonesia akan menambah maraknya industri manufaktur di indonesia yang pada akhirnya akan mendorong pula meningkatnya teknologi informasi di berbagai sektor industri di Indonesia.
Tulisan ini adalah merupakan bagian pengantar dari tulisan kami ke Pemerintah sebagai bagian dari tulisan untuk “Nusantara 21”, Februari 1998.
Tulisan yang sangat menarik. Sangat runtut dan relevan. Namun kalau boleh bertanya, menurut Anda bagaimana dengan pemerintahan (terutama tingkat daerah provinsi atau kab/kota) dalam menyikapi ekonomi digital yang juga terjadi di era otonomi daerah ini seharusnya, terutama dalam pengoptimalan target pembangunannya?
🙂
Terima kasih